Perjanjian Baku


1.                  Pengertian
            Beberapa hebat sudah mencoba mempersembahkan pengertian wacana perjanjian baku / standar . Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku / standar yakni perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[1] Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hondius, yaitu : “Perjanjian dengan syarat-syarat baku yakni syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu tanpa membicarakan lebih doloe isinya.[2]
      Dari definisi di atas, penulis sanggup menyimpulkan sebagai diberikut, yaitu intinya yang dimaksud dengan perjanjian baku yakni perjanjian yang secara tertulis yang isinya atau ketentuannya dituangkan dalam satu bentuk formulir tertentu.Hubungan aturan yang diwarnai oleh suasana “take – it – or – leave – it” terlihat dari batasan perjanjian baku tersebut di atas perhatikan anak kalimat “tanpa membicarakan terlebih lampau” wacana isinya. Hampir tiruana hubungan aturan yang menyangkut barang dan atau jasa konsumen seakan – akan sudah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini.
      Dalam praktek dunia perjuangan juga mengambarkan bahwa “keuntungan” kedudukan kedua belah pihak sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan atau klausa baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibentuk oleh salah satu pihak yang lebih secara umum dikuasai dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku, alasannya yakni baik perjanjian maupun klausa tersebut tidak sanggup dan mustahil dinegosiasikan atau ditawar – tawar oleh pihak lainnya, maka kita sudah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian baku,juga termasuk perjanjian kredit pada bank – bank (standar kontrak). Dari pegawai Bank kita mendapatkan formulir perjanjian rekening koran, dari tukang fhoto dan binatu kita akan mendapatkan “tanda terima” yang berbentuk suatu formulir perjanjian baku.
      Ketentuan pencantuman klausa baku yaitu dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka ditentukan adanya ketentuan perjanjian baku dan atau pencantuman klausa baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibentuk oleh para pelaku usaha. Undang – undang Perlindungan Konsumen tidak mempersembahkan definisi wacana perjanjian baku tetapi merumuskan klausa baku, sebagai diberikut :
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang sudah dipersiapkan dan diputuskan terlebih lampau secara sepihak oleh pelaku perjuangan yang ditungkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. [3]

            Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku perjuangan dalam mengatakan barang dan atau jasa yang ditunjukan umtuk diperdagangkan tidak boleh membuat atau mencantumkan klausa baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian dimana klausa baku tersebut akan menjadikan :
a.       Pengalihan tanggung balasan para pelaku usaha.
b.      Menyatakan bahwa pelaku perjuangan berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       Menyatakan bahwa pelaku perjuangan berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      Menyatakan pemdiberian kuasa dari konsumen kepada pelaku perjuangan baik secara pribadi maupun tidak pribadi untuk melaksanakan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       Mengatur wacana pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau memanfaatkan jasa yang akan dibeli oleh konsumen;
f.       Memdiberi hak kepada pelaku perjuangan untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.      Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibentuk sepihak oleh pelaku perjuangan dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.      Menyatakan bahwa konsumen memdiberi kuasa kepada pelaku perjuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2.            Pengertian Jual Beli
            Dalam bahasa inggris jual beli disebut dengan “Sale” saja, yang berarti penjualan (spesialuntuk dilihat dari sudut si penjual), begitu pila dalam bahasa perancis “Vente”, yang juga berarti penjualan sedangkan dalam bahasa jerman , dipakainya perkataan “Kauf”, yang berate pembelian.
            Jual beli berdasarkan B.W. yakni “suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yng satu (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda / barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.[4]
            Pada bab lain, R.M. Suryodiningrat, beropini bahwa “jual beli yakni perjanjian / persetujuan / kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda / barang kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual”.[5]
            Dari definisi tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam perkataan jual beli selalu adanya pihak yang berkepentingan secara timbale balik untuk melaksanakan suatu perbuatan, yaitu satu pihak melaksanakan perbuatan menjual sedangkan dari pihak lain membeli. Istilah secara timbale balik sesuai dengan bahasa belanda “Koop en Verkop” yang satu per Verkoop (menjual) sedangkan yang lainnya “Koopt” (membeli).



[1] Mariam Badrus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994, hlm. 47
[2] Ibid, hlm. 47.

[3] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, Pasal 18
[4] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1985, hlm. 1
[5] RM. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Penjanjian, Bandung : Tarsito, 1982, hlm. 4. 
close