Asas-Asas Yang Penting Dalam Perjanjian


            Di dalam ilmu pengetahuan hukum, di samping dikenal aturan dalam pengertiannya sebagai aturan positif, juga dikenal asas-asas aturan atau prinsip-prinsip hukum. Asas-asas aturan ini bukan ialah aturan positif, dan sanggup dikatakan bahwa asas-asas aturan ini menjadi dasar atau landasan dari aturan positif. Oleh lantaran itulah asas-asas aturan ini menempati daerah yang lebih tinggi dari aturan positif.
            Dari asas-asas aturan sanggup dikonstruksikan kaidah-kaidah aturan positif, ataupun sebaliknya kaidah-kaidah aturan positif sanggup dikembalikan pada asas-asas hukumnya.
            Berkenaan dengan duduk masalah perjanjian tersebut, terdapat beberapa asas yang penting dalam lapangan aturan perjanjian, yang uraian secara ringkasnya akan penulis turunkan dalam paragraf di bawah ini.
1)      Asas Konsensualisme
            Konsensualisme berasal dari perkataan “konsensus”, yang artinya ialah kesepakatan. melaluiataubersamaini kesepakatan dimaksudkan, bahwa di antara para pihak yang bersangkutan tercapai suatu persetujuan kehendak. Maksudnya, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua kehendak dimaksud bertemu dalam “sepakat” tersebut.
            Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu ialah juga dikehendaki oleh yang lain, atau bahwa kehendak mereka ialah “sama”, sesungguhnya tidak tepat. Yang betul ialah bahwa yang mereka kehendaki ialah “sama dalam kebalikannya”. Misalnya, yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal didiberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia mempersembahkan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada si pemilik barang. Demikian klarifikasi R. Subekti wacana makna “konsensus”.[1]
            Lebih lanjut R. Subekti menyatakan sebagai diberikut :
            “Asas konsensualisme mengandung arti bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja, dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada ketika atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Asas ini harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu pasal yang mengatur wacana syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, dan tidak dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyerupai yang diajarkan oleh beberapa penulis”.[2]

2)      Asas Kebebasan Berkontrak
            sepertiyang diketahui, perjanjian ialah sumber perikatan yang terpenting, lantaran dengan melalui perjanjian para pihak memiliki kebebasan untuk membuat segala macam perjanjian, baik perjanjian berjulukan maupun perjanjian tidak bernama. Hal ini ialah perwujudan dari asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang ialah salah satu asas yang penting dalam aturan perjanjian.
            Berkenaan dengan asas kebebasan berkontrak atau sistem terbuka, Subekti menyatakan pendiriannya bahwa :
            “Asas kebebasan berkontrak lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Tekniknya ialah dengan mempersembahkan penitikberatan pada perkataan tiruana, sehingga Pasal tersebut seakan-akan mencakupkan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan meliputi apa saja (atau wacana apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang menciptakannya menyerupai suatu undang-undang. Atau dengan kata lain, dalam soal perjanjian kita diper­bolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari aturan perjanjian spesialuntuk berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu”.[3]
            melaluiataubersamaini adanya asas kebebasan berkontrak, maka kedudukan rangkaian pasal-pasal yang terdapat dalam buku III BW banyak yang bersifat sebagai aturan tambahan (aanvullend recht) saja. Artinya, pasal-pasal tersebut sanggup dikesampingkan oleh para pihak mabadunga mereka menghendakinya, dan para pihak tersebut diperkenankan untuk membuat ketentuan-ketentuan sendiri sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Rangkaian pasal-pasal tadi gres mengikat mereka apabila mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya, atau kalau mengaturnya dalam perjanjian yang mereka buat tetapi tidak lengkap, maka atas hal-hal yang tidak diatur secara tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal dalam Buku III BW.
            Lebih lanjut, dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka perjanjian-perjanjian berjulukan yang diatur dalam Bab V – Bab XVIII itu spesialuntuk sekedar rujukan belaka. Artinya, para pihak diperkenankan membuat perjanjian yang lain atau tidak sama dengan contoh-contoh perjanjian tersebut.
3)   Asas Kekuatan Mengikat
            Asas kekuatan mengikat dalam suatu perjanjian disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan dengan tegas, bahwa tiruana perjanjian yang dibentuk secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang menciptakannya. Kekuatan menyerupai itu didiberikan kepada “tiruana perjanjian yang dibentuk secara sah” (Pasal 1320 BW).[4]           
            Sebagai konsekuensi logis dari kekuatan mengikat suatu perjanjian ialah bahwa perjanjian tersebut tidak sanggup ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau lantaran alasan-alasan yang oleh undang-undang ditetapkan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat (2) BW).
            Keterikatan para pihak dalam suatu perjanjian tidak spesialuntuk terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap segala sesuatu yang berdasarkan sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 BW). melaluiataubersamaini demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, budbahasa kebiasaan (di suatu daerah dan kalangan tertentu), sedangkan kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan.
4)   Asas Itikad Baik
            Asas itikad baik dalam lapangan aturan perjanjian tertuang secara eksplisit dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menegaskan, bahwa tiruana perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
            Menurut Sutan Remy Sjahdeini, yang dimaksud dengan itikad baik ialah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan kawan janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.[5]
            Ternyata, itikad baik bukan saja terdapat dalam lapangan aturan perjanjian melainkan juga terdapat dalam aturan benda. Perihal ini, Subekti mempersembahkan klarifikasi sebagai diberikut :[6]
            “…Dalam aturan benda,…itikad baik berarti kejujuran atau membersihkan. Si pembeli yang diberitikad baik ialah orang yang jujur, orang yang membersihkan. Ia tidak mengetahui wacana adanya cacat-cacat yang menempel pada barang yang dibelinya. Artinya, cacat terkena asal-usulnya. Dalam aturan benda itu itikad baik ialah suatu anasir subyektif. Bahkan ansir subyektif inilah yang dimaksudkan oleh Pasal 1338 ayat (3) tersebut di atas bahwa tiruana perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksudkan pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan…”

            Di muka sudah pula dijelaskan, bahwa melalui Pasal 1338 ayat (3) BW, hakim berwenang untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjajian, biar tidakboleh hingga pelaksanaan tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti pula, hakim didiberi wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian sebagaimana adanya mabadunga pelaksanaannya berperihalan dengan itikad baik. Dan pasal ini tidak sanggup disimpangi oleh para pihak yang membuat perjanjian.



[1] R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1981, hlm. 15.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 14.
[4] Ibid.,  hlm. 16.
[5] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1983, hlm. 121.
[6] Subekti, op.cit., hlm. 41.  
close