Pengertian Tindak Pidana


Pembentukan undang-undang kita sudah memakai istilah “strafbaar feit” untuk sebut apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanpa mempersembahkan sesuatu klarifikasi terkena apa yang sebetulnya yang di maksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut[1].
Terdapat beberapa pendapat para jago terkena tindak pidana, di antaranya yaitu :
Menurut Simons :
Strafbaar feit” yaitu “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband stand handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Makara unsur-unsur “strafbaar feit”, yaitu :
  1. Perbuatan insan (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
  2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
  3. Melawan aturan (onrechtmatig);
  4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);
  5. Oleh orang yang bisa bertanggung tanggapan (toerekeningsvatbaar persoon)
Simons menyebut adanya unsur subjektif dan unsur adil, yang disebut sebagai unsur adil, ialah :
  1. Perbuatan orang;
  2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
  3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu menyerupai dalam Pasal 281 kitab undang-undang hukum pidana sifat “openbaar
Unsur subjektif dari “strafbaar feit”, yaitu :
  1. Orang yang bisa bertanggung jawaban;
  2. Adanya kesalahan (dolus/culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan; kesalahan ini sanggup berafiliasi dengan akhir dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Menurut Van Hamel :
Strafbaar feit” yaitu “een wettelijik omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”.
Jadi unsur-unsurnya, yaitu :
1.    Perbuatan insan yang dirumuskan dalam undang-undang;
2.    Melawan hukum;
3.    Dilakukan dengan kesalahan;
4.    Patut dipidana[2].

Menurut Moeljatno :
Dalam pidatonya pada Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada tanggal 19 Desember 1955 : Perbuatan pidana sanggup didiberi arti perbuatan yang dihentikan dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno :7 dan 14) di samping itu perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan (Moeljatno : 15). melaluiataubersamaini demikian syarat-syarat formal yaitu perumusan undang-undang juga harus mencocoki syarat-syarat materiil yaitu sifat melawan aturan bahwa perbuatan tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan (Moeljatno : 16)[3]
Pengertian strafbaar feit atau tindak pidana dari Simons dan dari Van Hamel itu sanggup disebut sebagai pandangan yang “monistis” terhadap strafbaar feit atau tindak pidana, lantaran dalam pengertian itu dicakup pula pertanggungjawabanan pidana. Pengertian perbuatan pidana atau tindak pidana dari Moeljatno itu sanggup disebut sebagai pandangan yang “dualistis”  terhadap perbuatan pidana atau tindak pidana, alasannya yaitu dalam pengertiannya itu tidak tercakup pertanggungjawabanan pidana. Makara pandangan “dualistis” ini, memisahkan antara perbuatan pidana atau tindak pidana (criminal act / actus reus) dengan pertanggungjawabanan pidana (criminal responsibility / criminal liability / mensrea)[4].
Unsur-unsurnya yaitu :
1)    Unsur-unsur formal, yaitu :
a.    Perbuatan (manusia);
b.    Perbuatan itu dihentikan oleh suatu aturan hukum;
c.    Larangan itu disertai bahaya (sanksi) yang berupa pidana tertentu;
d.    Larangan itu dilanggar oleh manusia.
2)    Unsur-unsur materiil, yaitu :
Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan.



[1] P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 181.


[2] Sudarto, op.cit., hlm 40-41.

[3] Moeljatno dalam Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana ( Asas Hukum Pidana Sampai  melaluiataubersamaini Peniadaan Pidana), hlm 114.
[4] Sofyan Sastrawidjaja, ibid, hlm 116.
close