Menjadi Indonesia Menjadi Pancasila Tapi Lupa Kampung Sendiri

Kecenderungan pada beberapa ketika ini yakni orang lebih sibuk menjadi pemikir negara dari pada menjadi lingkungan sendiri. Orang lebih suka membicarakan, mendiskusikan, mendebatkan permasalahan besar tetapi lupa menuntaskan problem yang mendasar.

Lihat saja di grup WA dan media umum lainnya. Orang lebih suka mengulas wacana Pancasila, Dasar Negara. Bahkan mati-matian membela pendapat dan orang yang dikagumi. Terserah yang pro dan kontra, itu sama saja.

Kita asyik mengulas tentnag HTI dan Hubungannya dengan dasar negara. Porsinya terlalu besar. Bisa jadi 80% waktu kita, kita habiskan untuk mengulas itu, tanp mau melihat lingkungan sekitar. Kita juga sibuk mendebatkan apakah sang Imam itu benar-benar salah atau benar-benar dizalimi, padahal lingkungan sekitar jauh lebih membutuhkan tenaga dan pikiran kita.

Coba kita pikirkan, berapa banyak sampah yang ada di sekitar kita, sudahkah kita memmembersihkankannya. Ada berapa luas lahan yang masih menganggur di sekitar kita, kenapa tidak kita olah untuk menjadi lebih bermanfaa bagi sesama.

Kita lebih asyik bertafakur di depan gadget masing-masing. Ketika mendaras ayat-ayat suci pun juga diembel-embeli 'caption' yang 'super' setelah dijepret dan diunggah ke akun medsos kita masing-masing. Rebutan like dan jempol.

Menpenghasilan pun lebih sering membutuhkan pengeras suara. Pada bulan ampunan ibarat ini misalnya. Masjid menpenghasilan pakai pengeras suara. Langgar atau musala pakai pengeras suara. Rumah-rumah masyarakat juga menjadi daerah berkumpul untuk menpenghasilan dan mendaras ayat suci juga harus disediakan pengeras suara, meskipun itu sekadar satu set speaker aktif murahan. Yang penting ada pengeras suara.

Semuanya ingin menpenghasilan dengan syarat didengar oleh orang lain. Padahal kita sendiri juga paham bahwa Tuhan yakni zat yang maha menedengar. Yang di dalam hati manusia, Dia tahu.

Mungkin, kesokpedulian kita tehadap sesuatu yang besar alasannya yakni keengganan kita melihat diri sendiri. Terlalu peduli terhadap apa yang didiberitakan oleh televisi. Juga efek dari medsos yang kita tiruana telanjur menjadi jamaah setianya, setiap ketika di segala tempat.

misal, ini sekadar contoh. Di Desa Sukamakmur, dan beberapa desa tetangganya sudah tiga kali isu terkini pguan yang gagal. Pendapatan sawah turun hingga tiga kali lipatnya. Yang pertamanya sanggup 25 karung tinggal 7 karung sekali pguan. Ini masalah. Bahkan seharusnya ini problem yang sangat besar.

Jika petani padi gagal pguan terus, berarti bulog alias tubuh urusan logistik tidak sanggup menyerap gabah dari petani. Kalau tidak sanggup menyerap gabah, berarti produksi beras juga menurun. Kalau stok beras menurun berarti ketahanan pangan Indonesia terancam. Kalau sudah terancam harus impor, kalau impor cadangan devisa menurun. Kalau hingga menurun drastis, ketahan ekonomi Indonesia sanggup tergoncang kalau terjadi krisis atau kebijakan luar negeri negara lain yang tidak menguntungkan Indonesia. Memang, terlalu berlebihan sih, tapi hal itu sangat mungkin.

Maka, mari ingat untuk menjadi masyarakat negara Indonesia yang baik dan menyayangi Indonesia bukan sekadar pasang foto profil yang ada goresan pena 'Saya Indonesia Saya Pancasila' tetapi mari berbuat nyata. Setidaknya dengan bekerja dengan sungguh-sungguh. Apa pun pekerjaan kita.

Pancasila itu berdikari, sanggup bangun diatas kaki sendiri pun bukan sekadar slogan, tapi aplikasi. Mencintai kampung sendiri itu ialah wujud cinta kepada Indonesia dengan Pancasilanya. Mencintai itu, memperbaiki kalau ada jalan yang rusak. Tidak melulu menunggu uluran menolongan dari pemerintah. Para birokrat pun hendaknya begitu, berja sungguh-sungguh, meski tidak ada komisinya.

Seperti kata Cak Nun yang kini lebih pas dipanggil Mbah Nun, Indonesia itu bab penting dari desa aku. Saya mengamininya. Bukan desa saya bab dari Indonesia tapi Indonesia yakni bab dari desa aku.

Bukankah menyayangi desa bab dari iman.

Wallahua'lam bissawab
close