Cerita Rakyat Asal-Usul Kerikil Ulo - Jember - Jawa Timur: Sebuah Legenda

 Cerita Rakyat Asal-Usul Watu Ulo - Jember - Jawa Timur: Sebuah Legenda

Cerita asal-usul Watu Ulo ialah salah satu jenis dongeng legenda. Legenda yaitu dongeng rakyat terkena asal-usul terjadinya sesuatu. Cerita diberikut ini ialah hasil saduran dari paparan narasi hasil penelitian Doktor Sukatman, Dosen Universitas Jember dalam bukunya Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia. Dalam buku tersebut, Sukatman sebut bahwa dongeng yang ia tulis ialah hasil rangkuman dari dongeng rakyat di kawasan pesisir Watu Ulo.

Foto Batu yang disebut Watu Ulo
Berikut ini ialah saduran versi saya sendiri.
Dahulu kala di tanah Jawa ada seorang sakti mandraguna. Dia berjulukan Ajisaka. Sesudah melalui pengembaraan panjang sampailah Ajikasa di pantai selatan Jawa. Di pesisir selatan pulau jawa yang masih berupa hutan belantara Ajisaka membuka sebuah padepokan sebagai tempat menempa ilmu pengetahuan dan kanuragan untuk anakdidik-anakdidik pilihannya.

Wahai anakdidik-anakdidikku, hari ini saya akan mempersembahkan ilmu pamungkasku kepada kalian.” Ajisaka mengpertamai pembicaraan di dalam padepokannya. Murid-anakdidiknya mendengarkan dengan penuh perhatian wetidakboleh dari gurunya tersebut.

Melihat anakdidik-anakdidiknya spesialuntuk menunduk takzim, Ajisaka melanjutkan pembicaraannya, “Ilmu yang akan saya diberikan ini spesialuntuk boleh didengar dan diketahui oleh kalian yang sudah ada pada tingkatan tertinggi. Tidak boleh didengar oleh makhluk lain yang belum hingga pada tingkatan ini.”

“Berarti kami dihentikan memdiberitahukan ilmu ini kepada orang lain?” salah satu anakdidik Ajisaka memberanikan diri bertanya.

“Jangankan kamu diberitahu, mendengar rapalan manteraku pun tak boleh meskipun itu tidak sengaja. Bisa sangat berbahaya!” Ajisaka meninggikan nadanya.
Mendengar nada bunyi sang guru meninggi, anakdidik-anakdidik Ajisaka semakin dalam menunduk. Takut gurunya menjadi murka.

“Ketika nanti kalian sudah mendengar rapalan mantraku, kalian harus bertapa meminta petunjuk dari Tuhan yang mahakuasa untuk kemudian mengamalkan ilmu kalian dengan cara kalian masing-masing. Apakah kalian sanggup?” Murid-anakdidik Ajisaka spesialuntuk menjawaban dengan anggukan kepala.

“Apakah kalian benar-benar sanggup?” tanya Ajisaka lagi.

“Sanggup guru!” tiruana anakdidik Ajisaka menjawaban sekaligus masih dalam ketakziman.

Ajisaka berdiri, mengelilingi anakdidiknya satu persatu. Melihat dalam-dalam ke wajah anakdidiknya satu persatu. Sambil menunjuk kepada seorang anakdidik yang duduk di erat pintu, Ajisaka berkata, “Kau lihatlah ke luar sana. Pastikan tidak ada orang yang ada di erat sini.”

Sang anakdidik bergegas ke luar ruangan padepokan. Berjalan mengelilingi padepokan. Sesudah memastikan tidak ada orang sama sekali, anakdidik tersebut kembali masuk ke dalam padepokan. Melapor kepada sang guru.

Sesudah menerima laporan dari anakdidiknya, Ajisaka memerintahkan anakdidiknya untuk bersiap. Para anakdidik bersila, memejamkan mata sampil menyimak dengan khusyuk rapalan mantra dari Ajisaka.

Tak disangka tak dinyana, ternya di luar padepokan ada seujung ayam betina yang mencari makan. Mengais-mengais tanah dengan kedua cakarnya. Begitu Ajisaka selesai merapal mantra, seketika itulah ayam betina tersebut bertelur. Sementara itu, anakdidik-anakdidik Ajisaka berpencar. Berjalan ke segala arah dengan tujuannya masing-masing. Mengikuti instruksi sang guru untuk bersemedi. Begitu pula dengan Ajisaka. Dia melanjutkan perjalanannya mengembara ke seluruh tanah jawa. Menyebarkan ilmu dan kesaktiannya kepada anakdidik-anakdidik yang lain.

Sesudah hari berganti, ayam betina kembali bertelur. Tetapi tidak sama dengan telur yang pertama. Jika telur yang pertama ukurannya besar. Telur-telur selanjutnya, ukurannya normal layaknya ukuran telur ayam biasanya. Sesudah dierami 21 hari, karenanya telur-telur tersebut.

Dari sekian anak ayam yang menetas, ada satu wujud yang membuat induk ayam terheran-heran. Telurnya yang paling besar menetaskan seujung ular yang cukup besar. Ular itu sanggup berbicara.
“Ibu, mengapa bentukku begini? kenapa tidak sama dengan saudara-saudaraku yang lain?” Anak Ular bertanya kepada ibunya yang seujung ayam.

“Pun saya tak mengerti wahai anakku. Aku juga tidak  tahu.” Induk ayam juga kebingungan melihat wujud salah satu anaknya yang sangat tidak lazim.

“Apakah benar saya anakmu wahai ibuku?” Anak ular masih bertanya-tanya.

“Iya anakku, kamu yaitu anakku. Tapi, kala itu saya tak mengerti. Aku tiba-tiba bertelur dikala saya mencari makan di sini. Sehingga kuputuskan untuk membuat masukang di sini.”

Dalam kebingungannya, anak ular terus bertanya-tanya kepada siapa saja yang dijumpainya. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang tua. Jauh dari tempatnya menetas,
“wahai orang tua, adakah kamu mengerti siapa bapakku? Mengapa bentukku ular sementara ibuku yaitu seujung ayam?”

“Mana saya mengerti wahai anak ular. Adakah saya percaya kepadamu bahwa kamu yaitu anak ayam? sedangkan tubuhmu berbentuk ular besar menyerupai ini?” lelaki bau tanah yang ditanya justru balik bertanya.

“Aku tidaklah bohong wahai orang tua. Ibuku yaitu seujung ayam yang tiba-tiba bertelur saya dikala mencari makan di sebuah padepokan yang sudah tidak ditempati lagi.” Anak ular yang sudah tumbuh besar berusaha menerangkan.

“Oh, apakah kamu berasal dari padepokan di tepi hutan itu? kalau benar. Hanya Ajisaka yang sanggup menjawaban, siapa bapakmu. Dia yaitu orang sakti mandraguna yang banyak mengerti wacana banyak hal di tanah jawa ini.”

Sesudah mendengar klarifikasi dari lelaki bau tanah yang dijumpainya, anak ular kembali melanjutkan perjalanan. Hari demi hari, bulan berganti, tahun berganti. Akhirnya tubuh anak ular semakin membesar. Berubah menjadi ular raksasa. Pada karenanya ia sanggup menemukan tempat tinggal Ajisaka.

Anak ular yang kini menjadi ular raksasa bertanya kepada Ajisaka,
“Wahai tuan yang yang mulia. Adakah tuan mengerti siapakah bapakku?”

“Iya wahai ular raksasa. Bapakmu yaitu orang terhormat. Dia insan terhormat terpandang di seantero tanah jawa.” Ajisaka menjawaban penuh kewibawaan.

“Siapakah dia? bisakah saya menemuinya?”
“Bisa, sungguh sanggup wahai ular raksasa. Kau sanggup menemuinya. Tetapi tidak sekarang. Kau harus menemuinya dalam wujud manusia. Tidak dalam wujudmu yang menyerupai kini ini.”

“Baik wahai tuan yang mulia. Maukah tuan memmenolongku semoga saya sanggup berwujud manusia?”

“Apakah kamu sungguh-sungguh ingin mempunyai wujud manusia? Ada syarat yang berat yang harus kamu lakukan.” Ajisaka mempersembahkan syarat kepada ular raksasa.

Karena harapan yang sangat berpengaruh untuk sanggup menemui orang tuanya, ular raksasa menyanggupi syarat yang didiberikan oleh Ajisaka.
“Wahai ular raksasa, bila engkau ingin mempunyai wujud manusia, engkau harus bertapa. Setengah badanmu harus di darat, sementara setengah badanmu harus berada di air.”

Mendengar instruksi dari Ajisaka, ular raksasa bergegas mencari tempat untuk bertapa. Sesudah sekian usang mencari tempat untuk bertapa, karenanya ia memutuskan untuk bertama di tepi pantai. Agar tidak ada yang mengganggu, ia bertapa di sebuah hutan di kaki pegunungan pantai selatan. Bertahun-tahun ia bertapa tak kunjung juga menjadi manusia. Tubuhnya dipenuhi lumut dan karenanya membatu.
Demikian dongeng rakyat (legenda) asal-usul pantai watu ulo.


close