Landri Forem dan Santitis Pembentukan Istilah dalam Penutur Bahasa Indonesia
Ada yang pernah mendengar istilah landriforem dan santitis? Jika ada yang pernah mendengar kedua kata tersebut ada dua kemungkinan bagi Anda. Pertama, Anda sudah besar pada sekitar 1960-an. Kedua, Anda yaitu peneliti bahasa.
Istilah landriforem adalah sebuah istilah yang berkembang sekitar tahun 60-an ketika adanya upaya dari kelompok tertentu untuk mengubah tatanan kepemilikan tanah di Indonesia. Saat itu muncul perihal untuk membagi rata tanah di seluruh Indonesia sehingga kepemilikannya sama dan merata. Tidak ada yang tidak punya tanah, tidak ada yang menjadi buruh.
Gagasan itu dalam bahasa Inggris disebut dengan land reform yang ketika ini diterjemahkan menjadi reforma agraria. Oleh orang desa, khususnya yang berbahasa Jawa tentu kesusahan untuk mengucapkan land reform berdasarkan pelafalan Inggris, yang mereka pahami dan dengar, upaya untuk membagi tanah menjadi sama rata itu disebut-sebut oleh kalangan penggagas sebagai landreform landri forem.
Makara ada perubahan secara morfologis maupun secara fonologis. Land reform. Kata bermetamorfosis landri forem. Sementara ada penambahan fonem /e/ pada /form/ menjadi forem. Ada pula perubahan dari fonem /e/ menjadi fonem /i/. Yang pertamanya dibaca landre baca land.re menjadi landre kemudian landri.
Sementara itu, ada pula istilah santitis. Ada yang dapat menebak kata ini mengalami pergeseran pengucapan dari kata apa?
Sama halnya dengan landriforem yang pertamanya dari bahasa Inggris, santitis juga berasal dari bahasa asing. Istilah ini dikenal di kalangan para petani tembakau di masa lampau.
Ada pada sautau ketika, harga daun tembakau kering tidak ada beda antara yang kualitas super dan kualitas rendah alasannya yaitu adanya mbako santitis. Alias, tembaku santitis.
Menurut kabar yang beredar waktu itu, harga tembakau dapat sama antara yang anggun dan yang jelek alasannya yaitu akan dihancurkan, kemudian dicetak lagi menjadi lembaran daun yang baru. Nah, tembakau hasil proses pencetakan tersebutlah yang disebut sebagai mbako santitis. Ya, berasal dari kata sintetis dalam bahasa Inggris.
Mungkin, ekspresi Jawa lebih simpel mengucapkan titis daripada tetis. Karena titis ada dalam bahasa Jawa artinya tepat samasukan. Maka, dikenallah istilah santitis.
Kedua istilah di atas, landriforem dan santitis adalah istilah yang pernah ditanyakan dan diceritakan oleh orang bau tanah aku. Bapak yaitu generasi bau tanah yang mengaku lahir ketika zaman penjajahan Belanda. Buktinya ketika pemilu pertama, sudah mempunyai hak pilih. Sementara pemilu pertama dilaksanakan pada 1955.
Selain istilah landri forem dan santitis, ada pula istilah lesteng (lesting). Bagi penutur bahasa Jawa, istilah tentu tidak asing. Lesting adalah sebutan untuk lampu di kendaraan yang dipakai sebagai tanda hendak belok kiri atau belok kanan. Dalam bahasa Indonesia yang ‘resmi’ artinya yaitu lampu sein.
Kalau dicari asal undangan istilah lesting, kita dapat menemukan kata lighting yang artinya lampu atau nyala lampu. Jadi, maksudnya lampunya yang menyala.
Itulah bahasa Indonesia, istilahnya selalu berkembang. Menunjukkan bahasa Indonesia itu hidup sesuai dengan penuturnya.