Pendidikan Huruf Di Mata Quraish Shihab Dan Kiai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)

Pendidikan abjad atau pendidikan tabiat yang menjadi dasar dan tujuan besar pendidikan Indonesia. Tetapi, di luar itu tiruana alih-alih menunjukkan keharmonisan di dunia, justru muncul diberita-diberita miris. Berita tentang guru yang menghukum anakdidiknya. Ada pula anakdidik yang melaporkan gurunya.

Foto atas: Quraish Shihab dan Gus Mus
Foto Bawah: Najwa Shihab (Kerudung Hitam depan)
Sumber Foto: Facebook Wahyu Salvana
Hal ini, perselisihan dan perperihalan antara anakdidik dan gurunya, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan batin antara sang guru dan anakdidiknya. Bagaimana pendidikannya mau berkarakter dan menghasilkan lulusan yang beretika dan berkarakter, anakdidik dan guru saja tidak saling menghargai.

Sudah semestinya para guru menghargai anakdidiknya, terlebih para anakdidik, harus menghormati gurunya dalam segala bentuk penghormatan.

Berikut ini wetidakboleh dari Quraish Shihab dikala mengunjungi kediaman Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri). Keteduhan dan keteladanan tampak dalam goresan pena Wahyu Salvana yang diposting dalam akun facebooknya ini.

Sesudah kami tiruana mengamini doa yang dipimpin Abah Ahmad Mustofa Bisri, kemudian kami tiruana duduk lebih mendekat lagi di hadapan orang yang kami hormati. (Maksudnya ialah Quraish Shihab dan Gus Mus --mun).
Petuah dan nasihat Habib Quraish memang menyerupai makanan lezat. Siapapun yang ada di sekitarnya niscaya ingin ikut merasakan bahkan menikmati kelezatannya.
Tak spesialuntuk saya [Wahyu Salvana --mun] (yang gres dua kali bertemu beliau), putri dan cucu dia (meski setiap dikala sanggup dan biasa bertemu) pun, ikut merangsek maju.
Habib Quraish kembali 'ngendikan' (Bahasa Jawa halus, dalam bahasa Indonesia sama dengan 'berbicara' --mun). Kami pun, kembali seksama mendengarkan.
"Hal yang terpenting dalam menuntut ilmu (meskipun kini sudah banyak dilupakan), ialah hubungan atau ikatan batin antara anakdidik dengan guru. Antara santri dengan kyai. Ini yang masih terus diterapkan di pesantren".
Di ruangan ini, yang terdengar spesialuntuk bunyi Sang Habib. Sedangkan di luar, berseliweran bunyi knalpot sepeda motor. Kami tiruana tetap harus berkonsenterasi mendengar setiap kata dan kalimat yang dia sampaikan.
"Begitu dalam hubungan antara seorang 'anakdidik' dengan 'syeikh' (anakdidik ialah orang yang berkehendak mengikuti syeikh/guru), sampai-sampai, walaupun syeikh-nya sudah meninggal jauh, dia sanggup jadi hadir dalam mimpi untuk anakdidiknya. Hal yang begini bagi orang bukan andal tasawuf niscaya tidak akan percaya. Saya percaya persis, alasannya saya mengalami itu".
Sambil menatap dan menepuk paha kirinya Abah, bunyi Habib Quraish agak sedikit pelan;
"Hal yang beginian, masih banyak orang yang tidak percaya!".
Abah mengangguk dibarengi satu kata menanggapi pernyataan beliau;
"Ya..!"
Habib Quraish Shihab, kembali melanjutkan tausiyahnya.
"Hati saya lagi gundah, saya mimpi. Saat saya lagi senang, saya lihat dia hadir sambil tersenyum, dan lain sebagainya. Nah, di situ ada hubungan batin".
Aku pun ikutan mengangguk. melaluiataubersamaini tetap menatap tajam wajah teduhnya. Sungguh, saya tak bosan melihat wajah yang penuh cahaya itu.
"Kesusahan kita, dan belum sempurnanya kita dalam hubungan batin antara anakdidik dan guru ini lebih tidak ada. Bahkan kini ini, kekurangajaran yang ada. Jadi, tidak ada 'berkat' (berkah)."

Tulisan Wahyu Salvana tersebut diunggah pada Rabu, 28 Desember 2016. Dari tausyiah yang diceritakan secara menarikdanunik tersebut, sanggup kita tarik pelajaran penting:

Pertama, hubungan guru dengan anakdidik seharusnya bukan hubungan secara fisik tetapi juga hubunan batin. Hubungan batin ini sanggup dijalin melalui doa. Saling mendoakan antara guru dan anakdidiknya. 

Kedua, pengetahuan dan pelajaran yang sanggup didiberikan oleh guru bukan sekadar pengetahuan dan sanggup ditransfer melalui panca indera (bicara, melihat, mendengarkan) tetapi juga sanggup melalui olah batin dan olah rasa. Sehingga guru sanggup hadir dalam setiap sanubari anakdidiknya, baik melalui rasa maupun dalam mimpi.

Yang jelas, pendidikan itu seharusnya tidak meniadakan rasa. Bukan sekadar formasi nilai yang dituangkan dalam angka, tetapi juga harus dituangkan dalam perilaku dan perasaan. 


close