pustamun.blogspot.com – Aksi Damai 4 November menyisahkan banyak sekali polemik. Mulai ujung agresi tenang yang tidak tenang alias ricuh. Ditangkapnya beberapa pengurus PB HMI alasannya ialah disangka sebagai provokator hingga saling lapor antara pihak satu dengan pihak lain dalam rangkaian agresi tenang 4 November.
Perbandingan Antara SBY dan Jowoki Sebagai Presiden |
Situasi setelah agresi tak lantas mereda dengan sendirinya. Presiden Jokowi menggelar safari kepada pimpinan ormas-ormas Islam. Kantor PBNU dan kantor PP Muhammadiyah disambangi oleh presiden. Beberapa pimpinan ormas Islam diundang bertemu presiden. Rangkaian safari presiden juga berlanjut ke markas-markas kesatuan elit aparat.
Presiden Jokowi bertandang ke markas pasukan elit dari Tentara Nasional Indonesia dan Polri. Tidak spesialuntuk bertemu dengan para jenderal pemegang komando. Jokowi juga selalu bertemu eksklusif dengan pasukan dalam apel prajurit. Jokowi menyapa prajurit Kopassus, juga menyapa pasukan marinir. Dalam salah satu pidatonya Jokowi mengingatkan bahwa Presiden ialah panglima tertinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia. Dia bisa dan berhak untuk menginstruksikan pasukan-pasukan elit tersebut untuk kepentingan negara.
Pernyataan Jokowi tersebut seolah-olah menjadi penanda dan unjuk kekuatan. Jika dalam bahasa kasarnya, Jokowi selaku presiden hendak berkata, ‘Saya Presiden, saya punya pasukan elit yang bisa saya gerakkan sewaktu-waktu’. Tapi, Jokowi tidak menyampaikan secara langsung, maklum ia ialah orang Surakarta, orang Jawa yang penuh sopan santun.
Muncul pertanyaan, sesungguhnya Jokowi sedang berhadap-hadapan dengan siapa? Mungkinkah tokoh politik yang disebut oleh Jokowi menunggangi agresi tenang 4 November punya kekuatan besar? Sehingga Jokowi butuh merapatkan barisan tentara khususnya satuan-satuan elitnya? Hingga muncul pertanyaan dari seorang awam: apakah ini upaya meredam upaya kudeta?
Dalam sejarahnya, Indonesia tidak pernah mengalami perebutan kekuasaan secara eksklusif selama diberidirnya. Kudeta yang terjadi pada tahun 1965 oleh para jago disebut sebagai perebutan kekuasaan merangkak, alias perebutan kekuasaan perlahan. Kudeta yang terjadi pada 1998 juga mirip, perebutan kekuasaan perlahan. Militer yang pertamanya pendukung utama rezim kala itu, secara tidak eksklusif mencabut dukungannya sehingga rakyat berhasil menggulingkan rezim.
Siapakah tokoh yang potensial berhadap-hadapan secara eksklusif dengan Presiden Jokowi. Hanya ada dua tokoh di depan layar yang punya kans berhadap-hadapan dengan Jokowi, yaitu Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono. Keduanya ialah pensiunan Jenderal. Prabowo punya kekuatan politik yang relatif cukup besar meskipun koalisinya sudah tergerus oleh partai yang ‘membelot’ mendukung pemerintah. SBY, sebagai mantan presiden keenam yang meskipun kekuatan partainya di tubuh legislatif menyusut drastis juga masih punya dampak politik yang besar. Terbukti, Partai Demokrat di bawah kendali eksklusif oleh SBY bisa menghimpun kekuatan untuk mengusung Agus Harimurti Yudhoyono, anak kandung SBY yang juga berlatar belakang militer, sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta.
Di antara kedua tokoh tersebut, SBY lebih terasa sebagai rival Jokowi dibanding Prabowo. Prabowo pernah vis a vis dalam Pilpres 2014 silam. Tetapi keduanya sudah terlihat akur. Prabowo menghadiri peresmian Jokowi sebagai Presiden. Prabowo juga pernah berkunjung ke Kantor Kepresidenan. Sebaliknya, Jokowi juga berkunjung eksklusif ke kediaman Prabowo. Sementara SBY, tidak pernah sama pandangan politiknya. Keduanya, Jokowi dan SBY bahkan sering terlibat perang pernyataan. Salah satu perperihalan pernyataan yang paling sengit antara SBY dan Jokowi terkait agresi 4 November.
SBY secara tidak eksklusif bahwa ada orang yang kebal hokum, maksudnya ialah Ahok dan seolah-olah dilindungi oleh penguasa. Sementara itu, Jokowi dalam konferensi pers setelah agresi tenang berakhir ricuh menyebut agresi tenang tersebut ditunggangi bintang film politik. Oleh alasannya ialah Jokowi tidak menyebut nama sang aktor, muncul perkiraan publik bahwa sang bintang film ialah SBY. Kemudian, SBY kembali merasa diserang oleh Jokowi dan para pendukung SBY beropini seharusnya Jokowi menyebut nama semoga spekulasi tidak berkembang liar.
Mereka, para tokoh politik negeri ini tak hentinya terus saling serang. Untuk amunisi yang digunakan ialah pernyataan-pernyataan lisan. Seluruh rakyat Indonesia tentu berharap mereka tidak saling serang memakai amunisi bubuk mesiu, niscaya itu sangat merusak.
Kembali ke pertanyaan, apakah akan terjadi kudeta? Sepertinya tidak. Jokowi memang bukan seorang Jenderal. Tetapi, dirinya dikelilingi oleh Jenderal-Jenderal TNI. Baik dalam jajaran menterinya maupun pemmenolong lain. KaBIN juga orangnya Jokowi, juga jenderal. Menteri Luhut, Menteri Binsar, Menteri Wiranto, juga Jenderal. Tidak mungkinlah jikalau akan terjadi kudeta. Toh,dalam sejarahnya Indonesia tidak pernah erat dengan kudeta.
Salam Indonesia Damai! Salam Pustamun!