Budaya Literasi Dari Spanduk

Jember sedang menggalakkan budaya literasi. Kaprikornus budaya literasi yang belum pernah terbentuk mau digalakkan alias dibentuk menjadi galak.

Aksi penggalakan Budaya Literasi di Jember sudah dilakukan dengan agresi aktual oleh pemerintah, yaitu dengan cara yang paling mudah yaitu: MEMASANG SPANDUK.

Di spanduk-spanduk yang meliputi permintaan untuk menumbuhkan budaya literasi terdapat goresan pena yang agak panjang. Kaprikornus dianggap membaca goresan pena di spanduk sudah menumbuhkan budaya literasi. Hahaha.

Budaya literasi ialah budaya yang bepedoman pada literatur. Bukan sekadar membaca tetapi juga menulis. Bukan sekadar membaca tetapi juga harus membaca dengan dengan pemahaman.

Intnya harus mengharagai tulisan. Lalu bagaimana dengan Jember. melaluiataubersamaini asal usulnya saja masih gamang bahkan tidak terliterasi dengan baik.

Selama ini tanggal lahir Jember menyesuaikan dengan surat penetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dapar dikatakan hingga kini Jember masih memakai loguka orang Jajahan, inlander.

Seharusnya Jember mebata ulang sejarah asal-usulnya. Dikaitkan dengan kejadian sejarah yang lebuh besar misalnya. Atau ditelaah dari kerajaan kecil (negara bagian) di masa Majapahit. Tentu juga sanggup dilakukan.

Itu bab dari kerja literasi. Juga bab dari budaya literasi.

Selanjutnya berkaitan dengan aktivitas masa kini. Jember disebut-sebut sebagai kota tervesar ketiga di Jawa Timur. Entah apa yang dipakai sebagai dasar pemeringkatan tersebut.

Jember memang layak disebut sebagai kota pelajar mengingat jumlah sekolah dan perguruan tinggi tinggi yang ada kabupaten Jember tidak sanggup dihitung dengan jari. Ada tiga kampus negeri. Dan banyak lagi kampus swasta.

Kompleks perguruan tinggi tinggi Kabupaten Jember ada di Kecamatan Sumbersari. Ada 6 kampus yang berdekatan. Kelima kampus tersebut ialah Universitas Jember, IKIP PGRI Jember, Polimetode Negeri Jember, Universtias Terbuka, dan Universitas Muhammadiyah Jember, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala.

Kampus perguruan tinggi tinggi berkorelasi dengan adanya mahasiswa yang banyak. Dapat dikatakan pula bahwa, kaum intelektual yang banyak. Kaum intelektual ini yang berkait erat dengan budaya literasi. Namun yang terjadi dan ada di sekitar kampus tersebut sama sekali tidak menawarkan adanya budaya literasi.

Alih-alih adanya penerbit yang bonafit di Jember, yang ada justru kafetaria dengan banyak sekali macam konsepnya. Jangankan toko penerbit, toko buku pun tak ada di sekitar kampus. Memang di Jember dua toko buku jaenteng nasinal yaitu Gramedia dan Togamas. Tetapi letak dan posisinya cukup jauh dari daerah kampus.

Yang lebih miris lagi, doloe pada 2009 Toko buku Togamas ada di kompleks kampus Universitas Jember, tetapi kemudian pibdah menjauh dari masukang para 'intelektual' ini. Hal ini sanggup dimaknai sebagai rendahnya minat baca kaum 'intelektual' di Jember.

Upaya membudayakan luterasi di Jember masih jauh panggang dari api. Jika sebatas pada slogan dan aktivitas sporadis, api akan selalu jauh dari panggang.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap beliau-beliau yang sudah usang mendedikasikan diri terhadap budaya literasi di Jember, sanggup dikatan bahwa budaya literasi di Kabupaten Pandhalungan ini masih sangat rendah.

Upaya yang sanggup dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan memanfaatkan nilai-nilai lokalitas yang ada di Jember.

Misalnya diselenggarakan lomba menulis dongeng rakyat Jember. Atau lomba dikumentasi dongeng asal-asul wilayah (kabupaten, kecamatan, desa, atau bahkan dusun, serta tempat lainnya). Kalau sebatas lomba dan menerima hadiah, maka final hingga di situ.

Agar menjadi gerakan literasi maka perlu dilakukan tindak lanjut. Misalnya hasil karya penerima lomba tersebut dibukukan menjadi sebuah buku yang diproduksi secara profesional dan lebih menarikdanunik lagi.

Hasil karya literasi tersebut kemudian sanggup direproduksi menjadi tayangan visual yang menarikdanunik. Jember sudah populer melalui karya visualnya yaitu: JFC. Bukan mustahil karya visual lain sanggup berkembang pula.

Karya visual lain yang bersumber dari literatur lokal contohnya sanggup berupa film pendek. Sumber daya produksinya tersedia. Kampus-kpus di Jember mempunyai jurusan perfileman. Kelompok teater mulai Sekolah Menengan Atas hingga masing-masing fakultas di Kampus juga eksis. Mereka (para pemain teater dan mahasiswa jurusan perfileman) tentu sanggup memproduksi film.

Distribusi film yang bersumber dari literatur lokal tersebut sanggup disiarkan melalui jaenteng televisi lokal di Jember. Agar tidak banyuwangian tok.

Tentu tiruana itu sanggup terwujud jikalau pemerintah kabupaten Jember bersungguh-sungguh menumbuhkan budaya literasi di Jember. Kalau sebatas sebagai gincu, cukup spanduk-spanduk besar bertuliskan: Mari Galakkan Budaya Literasi di Jember.

close