Medsos Berbahaya Alasannya Rendahnya Literasi Kita

Medsos alias Media Sosial sanggup sangat berbahaya. Bagi diri sendiri dan bagi orang lain, bahkan bagi keutuhan Negara Bangsa yang sudah digagas oleh para pendiri lebih dari 100 tahun lalu. Maka, alasannya ialah imbas yang masif inilah perlu perhatian dari seluruh elemen bangsa yang berkepentingan di situ.

Bahayanya medsos memunculkan banyak sekali ekspresi dan kebijakan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan ajaran ihwal media sosial. Sementara Wahyu Kokkang, Kartunis koran Jawa Pos mengekspresikan dengan karya kartun menyerupai ini:

Sumber Gambar: www.facebook.com/wahyu.kokkang

Kartun Clekit dalam Jawa Pos tersebut menggambarkan bahwa Medsos yang ada di gawai (gadget) kita masing-masing menyerupai setan. Setan yang tidak spesialuntuk ada dalam gawai, tetapi juga tanduknya hingga keluar di dunia konkret di luar telepon pintar.

Artinya sanggup berbahaya dalam kehidupan nyata. Itu tiruana alasannya ialah medsos.

Sebegitu berbahayanya medsos alasannya ialah tiruana orang punya alat dan kemungkinan untuk membagikan informasi. Padahal informasi yang dimililiki belum tentu valid. Jika pun itu valid, informasi tersebut spesialuntuk dipandang dari satu sudut, tidak komprehensif. Maka sangat mungkin terjadi kesalahan informasi yang bukannya memunculkan kebaikan dan informatif, tetapi justru menjadi alat pengadu domba dan pemecah-belah.

Terlebih orang Indonesia, yang budaya literasinya masih sangat rendah dipaksa oleh keadaan menjadi pelaku tutur tingkat kedua. Budaya Indonesia ialah budaya lisan atau budaya tutur, masih belum budaya tulis. Karena lambatnya gerakan menyebabkan orang Indonesia menjadi orang dengan budaya tulis, maka upaya itu sudah dilampaui kecanggihan teknologi.

Medsos ialah budaya lisan tingkat kedua. Jika melalui tahapan yang benar, dari budaya lisan, menjadi budaya tulis, gres kemudian menjadi budaya lisan tingkat dua yang diwujudkan dalam bentuk media sosial, maka orang Indonesia tidak akan simpel terhasut, juga tidak simpel menyebar informasi yang belum tentu teruji kebenarannya.

Budaya lisan dengan simpel ngomong dari lisan ke mulut, sementara dalam budaya tulis, kebenaran sebuah pernyataan masih sanggup dipertanyakan berulang-ulang sehingga muncul dialektika dengan diri sendiri maupun dengan orang lain dalam diskusi yang sehat.

Apakah terlambat untuk membawa Indonesia menjadi bangsa dengan budaya literasi? Jawabannya tentu saja tidak. Di tengah keengganan kita terhadap budaya tulis, budaya literasi, masih ada bahkan banyak orang-orang dengan sukarela menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk mempersembahkan sumber bacaan bagi lingkungan sekitar. Ini tidak sanggup dipandang sebelah mata. Ini gerakan mahir yang harus menerima sumbangan dari tiruana pihak, terutama pemerintah.

Upaya penguatan budaya literasi di sekolah juga semakin ditampakkan. Meskipun sebelumnya sudah ada, tetapi tidak dengan istilah literasi. Semua sekolah harus berbudaya literasi semenjak doloe, bukan spesialuntuk sekarang. Tetapi doloe tidak memakai istilah literasi. 

Lalu, bagaimana menumbuhkan budaya literasi. Sebenarnya sama saja. Intinya spesialuntuk baca, pahami, konfirmasi, baca lagi, gres ambil kesimpulan.

Misalnya dalam sebuah media sosial, ada informasi yang sedang heboh. Jika spesialuntuk membaca dan mengiyakan satu informasi yang sedang disebar atau diviralkan oleh buzzer ada kemungkinan itu ialah informasi yang menyesatkan. Maka perlu dikonfirmasi dari sumber yang terpercaya, contohnya situs diberita yang memang memliki kredibilitas.

melaluiataubersamaini demikian, kita akan terhindar dari setan-setan medsos yang ada di dunia maya maupun setan-setan yang mungkin bersemayam dalam diri kita.

Salam Pustamun!
close