A. Media Puzzle
Menurut Depdiknas (2003: 43) puzzle ialah salah satu jenis media yang dipakai dalam suatu permainan. Permainan ini berupa acara bongkar dan menyusun kembali kepingan puzzle menjadi bentuk utuh. Posisi pertama puzzle yang dalam keadaan berantakan bahkan keluar dari tempatnya anak akan merasa tertantang untuk alasannya hal ini yang mendorong kelincahan koordinasi tangan dan pikiran terwujud secara nyata.
Soebachman (2012: 48) permainan puzzle adalah permainan terdiri atas kepingan-kepingan dari satu gambar tertentu yang sanggup melatih yang kreativitas, keteraturan, dan tingkat serius. Permainan puzzle dapat dilakukan oleh belum dewasa hingga anak belasan tahun, tetapi tentu saja tingkat kesusahannya harus diadaptasi dengan usia anak yang memainkannya. Permainan puzzle anak akan mencoba memecahkan duduk kasus yaitu menyusun gambar. Pada tahap pertama mengenal puzzle, mereka mungkin mencoba untuk menyusun gambar puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan bagian-bagian puzzle tanpa petunjuk. Permainan puzzle dengan sedikit kode dan contoh, maka anak sudah sanggup membuatkan kemampuan kognitifnya dengan cara mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika.
Menurut Yulianty (2008:42) Puzzle yakni permainan menyusun dan mencocokan bentuk dan tempatnya sesuai dengan gambar yang sebenarnya. Disimpulkan bahwa permainan puzzle adalah permainan yang sanggup merangsang kemampuan logika matematika anak, yang dimainkan dengan cara membongkar pasang kepingan puzzle berdasarkan pasangannya.
b. Tujuan Permainan Puzzle
Memdiberikan permainan pada anak yaitu permainan yang menarikdanunik dan mempersembahkan pengetahuan yang sanggup mengasah seni administrasi anak. Permainan anak yang didiberikan sanggup mempersembahkan simbol. Permainan membuat anak mencar ilmu dengan senang, dan dengan mencar ilmu melalui permainan anak sanggup menguasai pelajaran yang lebih menantang. Permainan puzzle menurut Sunarti (2005: 49) memiliki tujuan, yaitu:
1. Mengenalkan anak beberapa seni administrasi sederhana dalam menuntaskan masalah.
2. Melatih kecepatan, kecermatan, dan ketelitin dalam menuntaskan masalah.
3. Menanamkan sikap pantang mengalah dalam menghadapi masalah.
c. Jenis Potongan Puzzle
Dunia belum dewasa terdapat aneka macam jenis permainan, salah satu jenis permainan yang bermanfaa bagi anak dan bersifat edukatif yakni puzzle. Puzzle terdiri dari kepingan-kepingan. Kegiatan membongkar dan menyusun kembali kepingan puzzle menjadi bentuk yang utuh bertujuan melatih koordinasi mata, tangan dan pikiran anak dalam menyusun kepingan puzzle yang terdiri dari aneka macam bentuk yang tidak sama dengan cara mencocokkan potongan gambar satu dengan lainnya, sehingga membentuk satu gambar yang utuh dan baik. Puzzle ialah permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Anak terbiasa dalam permainan puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun, dan sabar dalam menuntaskan sesuatu.
d. Manfaat Permainan Puzzle
Permainan puzzle bisa mempersembahkan peluang mencar ilmu yang banyak kepada anak. Memainkan puzzle bersama-sama sanggup merekatkan korelasi antara orangtua dan anak. Permainan puzzle mempersembahkan tantangan tersendiri untuk anak disaat anak berada dalam kondisi galau sebagai orangtua sanggup menyemangati anak supaya tidak patah semangat. Semangat yang diperoleh anak sanggup menumbuhkan rasa percaya diri dan merasa bisa menuntaskan permainan puzzle tersebut. Rasa percaya diri sanggup menambah rasa kondusif kepada anak sehingga anak akan lebih aktif berpartisipasi dalam aneka macam acara lainnya. Manfaat permainan puzzle menurut Yulianty (2008:43) adalah:
1. Mengasah otak, kecerdasan otak anak akan terlatih alasannya permainan puzzle yang melatih sel-sel otak untuk memecahkan masalah.
2. Melatih koordinasi mata dan tangan, permainan puzzle melatih koordinasi tangan dan mata anak. Hal itu dikarenakan anak harus mencocokan keping-keping puzzle dan menyusunnya menjadi satu gambar utuh.
3. Melatih membaca, memmenolong mengenal bentuk dan langkah penting menuju pengembangan keterampilan membaca.
4. Melatih nalar, permainan puzzle dalam bentuk insan akan melatih kecerdikan belum dewasa alasannya anaak-anak akan menyimpulkan dimana letak kepala, tangan, kaki, dan lain-lain sesuai dengan logika.
5. Melatih kesabaran. Aktivitas permainan puzzle, kesabaran akan terlatih alasannya dikala bermain puzzle di butuhkan kesabaran dalam menuntaskan permasalahan.
6. Memdiberikan pengetahuan, permainan puzzle mempersembahkan pengetahuan kepada belum dewasa untuk mengenal warna dan bentuk. Anak juga akan mencar ilmu konsep dasar binatang, alam sekitar, jenis-jenis benda, anatomi badan manusia, dan lain-lain.
e. Teknik Memainkan Puzzle
Permainan yang sanggup merangsang daya pikir anak, termasuk diantaranya meningkatkan kemampuan serius dan memecahkan masalah. Permainan tidak spesialuntuk membuat anak menikmati permainan tapi juga dituntut supaya membuat anak untuk teliti dan tekun ketika mengerjakan permainan tersebut. Kegiatan yang aktif dan sangat senang juga meningkatkan aktifitas sel otaknya dan juga ialah masukan-masukkan pengamatan atau ingatan yang selanjutnya akan menyuburkan proses pembelajaran dan memakai tiruana panca indranya secara aktif. Teknik memainkan puzzle pun tidak susah. Menurut Yulianti (2008: 43) langkah-kangkah memainkan permainan puzzle adalah sebagai diberikut:
1. Lepaskan kepingan puzzle dari papannya
2. Acak kepingan puzzle tersebut
3. Mintalah anak untuk memasangkannya kembali
4. Berikan tantangan pada anak untuk melakukannya dengan cepat, biasanya dengan hitungan angka dari 1 hingga 10, stopwatch, dll.
B. Kemampuan Bercerita
1. Pengertian Bercerita
Cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal, yaitu insiden atau insiden (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,2003:210). Menurut Arsjad dan Mukti (1991:12) dongeng yakni suatu bentuk wacana yang samasukan utamanya tindak tanduk yang dijalani dan dirangkaikan menjadi sebuah insiden yang terjadi dalam kesatuan waktu. Wigadho (1997:166) menyampaikan dongeng yakni karangan yang menceritakan satu atau beberapa insiden dan bagaimana berlangsungnya peristiwa-peristiwa tersebut. Isi yang diceritakan berupa peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi atau tentang sesuatu yang khayal.
Menurut Rahmulyati (2001:6) menceritakan yakni menuturkan suatu peristiwa, insiden atau pengalaman baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun rekaan yang disusun berdasarkan urutan waktu. Majid (2002:9) menyampaikan menceritakan yaitu penyampaian dongeng kepada pendengar atau membacakannya bagi mereka. Ketika proses menceritakan dibutuhkan adanya hal-hal yang mencakup beberapa aspek posisi duduk, bahasa, suara, gerakan-gerakan, peragaan supaya penceritaan menjadi baik. Bercerita berdasarkan kurikulum yakni siswa bisa mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan, secara ekspresi melalui menceritakan pengalaman, mengulas masalah-masalah aktual, mendeskripsikan benda atau seseorang, mengambarkan petunjuk penerapan, berdiskusi, dan memberikan pesan melalui telepon serta menceritakan kembali isi dongeng dan bermain peran.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas sanggup didefinisikan pengertian menceritakan yakni bentuk sikap insan untuk mengutarakan suatu kejadian, baik fakta atau khayalan secara ekspresi dengan memanfaatkan organ badan yaitu kepala, tangan, roman muka, disusun berdasarkan urutan waktu atau singkatnya menuturkan cerita.
2. Faktor Penunjang Keefektifan Bercerita
Kemampuan menceritakan ialah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, memberikan pikiran, gagasan, dan perasaan (Arsjad dan Mukti,17:1988). Yang dimaksud ucapan yakni seluruh acara yang kita lakukan dalam memproduksi bunyi bahasa, yang mencakup artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat bicara, menyerupai lidah, gigi, bibir, dan langit-langit pada waktu kita membentuk bunyi, baik vokal maupun konsonan. Menjadi pencerita yang baik selain harus menguasai kesan bahwa ia menguasai duduk kasus yang dibicarakan, si pencerita juga harus memperlihatkan keberanian, kegairahan., dan pencerita harus menceritakan dengan terperinci dan tepat. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh si pencerita untuk keefektifan menceritakan yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan. Berikut dijelaskan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan sebagai penunjang keefektifan menceritakan (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
1) Faktor Kebahasaan
Faktor penunjang keefektifan menceritakan faktor kebahasaan yakni meliputi, ketepatan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi, dan ritme yang sesuai, plihan kata, dan ketepatan samasukan pembicaraan. Faktor-faktor kebahasaan ini diperlukan sanggup meningkatkan kemampuan menceritakan seseorang. Berikut dijelaskan faktor-faktor kebahasaan sebagai penunjang keefektifan menceritakan.
a) Ketepatan Ucapan
Seorang pencerita harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat, sanggup mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak sempurna atau cacat akan menjadikan kebosanan, kurang sangat bahagia, atau kurang menarikdanunik. Ketepatan ucapan cukup menghipnotis proses komunikasi. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap tidak sempurna apabila pencerita menyimpang terlalu jauh dari ragam ekspresi biasa, sehingga mengganggu komunikasi.
b) Penempatan Tekanan, Nada, Sendi dan Ritme yang sesuai
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan ritme ialah daya tarik tersendiri dalam menceritakan. Walaupun duduk kasus yang dibicarakan kurang menarikdanunik, maka dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan ritme yang sesuai, akan mengakibatkan masalahnya menjadi menarikdanunik. sebaliknya kalau penyampaiannya datar, akan menjadikan kejenuhan dan keefektifan menceritakan berkurang. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pencerita menceritakan dengan terperinci dalam bahasa yang dikuasai pencerita.
c) Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi. Jelas maksudnya simpel dimengerti oleh pendengar yang menjadi samasukan. Pendengar akan tertarik dan senang mendengarkan kalau pencerita menceritakan dengan terperinci dalam bahasa yang dikusainya, dalam arti yang betul-betul menjadi miliknya, baik sebagai perorangan maupun sebagai pembicara.
d) Ketepatan Samasukan Pembicaraan
Ketepatan samasukan pembicaraan berkaitan pemakaian kalimat. Pencerita yang memakai kalimat efektif akan megampangkan pendengar menangkap isi cerita. Seorang pencerita harus bisa menyusun kalimat efektif, kalimat terkena samasukan, sehingga bisa menjadikan pengaruh, meninggalkan kesan, atau menjadikan akibat. Kalimat efektif bisa membuat isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar menyerupai apa yang dimaksud oleh pencerita.
2) Faktor Nonkebahasaan
Faktor nonkebahasaan menyangkut sikap atau tingkah laris menceritakan yaitu
1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, 2) pandangan harus diarahkan kepada
lawan bicara, 3) kesediaan menghargai pendapat orang lain, 4) gerak-gerik dan mimik yang tepat, 5) kenyaenteng suara, 6) kelancaran, 7) relevansi atau penalaran, 8) penguasaan topik. Faktor nonkebahasaan kalau sanggup dikuasai pencerita akan megampangkan penerapan faktor kebahasaan.
Adanya faktor kebahasaan dan non kebahasaan sebagai faktor penunjang keefektifan menceritakan akan meningkatkan nilai tinggi seorang pembicara. Agar memberikan informasi dengan efektif, sebaiknya pembicara harus melihat pada fakor kebahasaan dan nonkebahasaan yang sudah dijabarkan di atas.
3. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Bercerita
Kegiatan menceritakan ialah acara berbicara yang memerlukan persiapan untuk memulai cerita. Ada bebrapa hal untuk persiapan menceritakan. Persiapan menceritakan berdasarkan Haryadi dan Zamzani (dalam Suhartiningsih,1997:702 ) yakni 1) menentukan dongeng yang tepat, 2) mengetahui isi cerita, 3) mencicipi cerita, 4) menyelaraskan cerita, 5) pemilihan pokok cerita, 6) menyarikan cerita, 7) memperluas cerita, 8) mengisahkan dongeng secara langsung, 9) menceritakan dengan badan yang alamiah, 10) menentukan tujuan, 11) memfungsikan kata dan percakapan, 12) melukiskan kejadian, 13) menetapkan suasana gerak, 14) merangkai adegan.
Menurut Suhartiningsih (1997:702 ) untuk menjadi pencerita yang baik yakni penguasaan dan penghayatan cerita, penyelarasan dengan situasi dan kondisi, pemilihan dan penyusunan kalimat, pengapreasian alami, dan keberanian. Petunjuk menceritakan berdasarkan Setyono (1997:5 ) yakni 1) tidakboleh menghafalkan cerita, 2) visulisasikan tokoh dongeng dan latar dalam bentuk anda, sehingga anda sanggup mendeskripsikan seakan-akan anda melihatnya, 3) tulis outline beserta detail-detailnya di kartu yang sanggup anda pegang, tetapi tidakboleh dibaca, 4) rencanakan terkebih lampau cara-cara supaya anda sanggup memperpanjang atau memperpendek dongeng tergantung pada waktu yang disediakan dan pendengar cerita, 5) latih terlebih lampau di depan beling atau kepada orang lain sebelum menceritakan, 6) gunakan alat menolong untuk menambah suasana pada dikala menceritakan, 7) gunakan bunyi yang tidak sama untuk memberikan rasa gembira, sedih, marah, 8) hadapkan wajah anda ke pendengar.
Berdasarkan sumber di atas hal-hal yang harus diperhatikan untuk menceritakan yakni 1) menentukan dongeng yang tepat, 2) penguasaan dan penghayatan dongeng 3) mengisahkan dongeng langsung, 4) gunakan bunyi yang tidak sama untuk memberikan rasa gembira, marah, dan sedih, 5) hadapkanlah wajah anda ke pendengar, dan 6) harus berani.
4. Manfaat Bercerita
Suatu acara yang dilaksanakan harus memiliki manfaat baik bagi diri
sendiri maupun orang lain. Bercerita memiliki manfaat tertentu pada pencerita dan pendengar cerita. Menurut Suhartiningsih (1997:702) manfaat dari acara menceritakan yakni 1) mempersembahkan hiburan, 2) mengajarkan kebenaran, dan 3) mempersembahkan keteladanan atau model.
Seseorang akan merasa terhibur bila mendengar orang menceritakan. Bercerita mempersembahkan kesenangan untuk pencerita dan pendengar cerita. Orang yang mencicipi kesedihan bila mendengarkan dongeng maupun orang menceritakan akan mencicipi beban kesedihannya hilang. Pendengar dongeng terhibur mendengarkan orang menceritakan, pembicara senang ada orang yang mau mendengarkan ceritanya dan beban sedihnya berkurang dengan menceritakan. Akan tetapi seseorang menceritakan harus melihat kondisi pendengar, apakah sedih atau bahagia.
Cerita akan mengajarkan kebenaran dan mempersembahkan keteladanan. Isi dongeng akan memperlihatkan yang bisa dijadikan pola teladan yang baik dan teladan yang buruk. Kebenaran suatu dongeng mengambil keteladanan yang baik dari suatu cerita.