Ramadan, Zakat, Dan Sok-Sokan Kita | Membincang Cara Membagi Zakat Bersama Cak Rat

Sehabis jamaah Jumat di Masjdi dusunku, Cak Rat bertandang ke rumah. Terkhir kulihat beliau sedang di Marawi, Filipina bab selatan. Aku lihat wajahnya dari tayangan televisi. Bukannya takut terkena peluru nyasar antara Tentara Filipina dan Kelompok Maute, beliau malah dada ke kamera. Aku yang melihatnya, tidak begitu heran, memang beliau agak gila.

Hari ini, beliau sudah ada di rumah. Bertandang ke rumah. Tiba-tiba menyalakan televisi. Dipindah-pindah susukan teve sekenanya. Ketika ada saluran televisi diberita, beliau melirik ke arahku. Melihat saya juga sedang melihat televisi, Cak Rat pribadi memberondongkan idenya.


“Indonesia ini kakehen polah, masak pertolongan zakat aja harus dibagi dengan cara antre menyerupai itu.” Mulutnya nyerocos sambil memindah susukan televisi. “Mending nonton kartun menyerupai ini,” sambungnya.

“Bukan Indonesia, Cak. Cuma oknum,” Aku protes.

“Iya. Orang Indonesia. Indonesia kan negara. Negara tidak dapat memdiberi zakat. Orang-orang Indonesia memang sok.” Timpalnya.

“Bukan orang Indonesia, tapi spesialuntuk segelintir. Hanya oknum, Cak.” Aku masih protes.

“Iya. Oknum.”

Suasana hening. Kami menyimak presenter teve memaparkan diberitanya.

“Itu sudah tahu. Ngapain teve ngeliput program menyerupai itu. Gak mutu. Gak ikut dalam membangun huruf bangsa. Harusnya tivi itu menyiarkan kabar-kabar bagus. Yang menginspirasi.”

“Rating, Cak. Sing payu yo sing seru ngunu iku.

“Iya, memang sok-sokan tiruana orang Indonesia kan. Yang mbagi zakat supaya disebut kaya. Biar disebut dermawan. Bagi zakat sama ratusan orang. Ratusan orang disurus ngantri. Ngantrinya panjang. Panas. Bahkan ada yang terjepit hingga pingsan. Itu orang niatnya nolong apa mau bikin orang susah.

Pasti nanti bila ditanya wartawan jawabannya gini: aku spesialuntuk ingin menyebarkan dengan sesama. Pret.

Itu bukan berbagi, itu namanya cari muka. Biar disangka. Kalau memang ingin berbagi, harusnya menjiplak pedoman nabi. Tangan kanan memdiberi, tangan kiri tidak perlu melihat.”

“Sebentar, Cak. Itu dalil dari mana?” Aku memotong pembicaraannya.

“Jo... Jo. Masak dalil begitu aja gak pernah kamu dengar. Itu banyak di buletin-buletin, yang kubaca saat di kampus doloe.”

“Emangnya sampeyan pernah kuliah?”

“Enggak, saya Cuma main-main di sekitar kampus dan banyak buletin Islam di sana. Ah, sudah. Kok jadi bahas buletin. Padahal saya pingin mbahas zakat.”

“Monggo, Cak. Monggo.” Aku mempersilahkan Cak Rat menuangkan idenya. Kalau kuhalangi, dapat jadi beliau murka dan bikin geger seisi kampung.

“Masalahnya, memang. Semua kita. Eh, Kita tiruana memang sedang sok. Dari yang rakyat kecil hingga para pemimpin. Baik pemimpin kecil maupun pemimpin besarnya, sama. Sama-sama sok.”

“Maksudnya pemimpin kecil dan pemimpin besar Apa Cak?” Aku mencoba memahami ucapannya.

“Maksudnya, pemimpin Indonesia ini, di tiruana tingkatan. Dari tempat hingga sentra sama. Sama-sama sok.Biar dilihat orang. Kalau mau bagi-bagi hadiah nunggu diliput doloe oleh wartawan. Kalau tidak ada wartawan yang meliput, bikin video sendiri diaplud ke yutub. Pamer kan? Sok kan?”

Aku mulai mengerti arah pembicaraan Cak Rat.

“Coba para pemimpin itu menjiplak teman erat umar. Ketika melihat rakyatnya kelaparan, beliau panggul sendiri itu beras. Didiberikan kepada rakyat yang kelaparan. Tanpa nunggu besok, tanpa menunggu ada orang yang tahu. Bahkan yang didiberi menolongan juga tidak tahu bahwa yang memmenolong ialah sang pemimpin. Ada pemimpin kini yang begitu?”

Cak Rat menunggu jawabanan dariku. Aku membisu saja. Dia melanjutnya orasinya di depan satu-satunya pendengarnya. Aku.

“Yang zakat, itu di tivi itu. Sama. Sudah ada banyak forum zakat, amil zakat di negeri ini. Mulai yang dari milik pemerintah, hingga forum swasta yang memang serius ngurusi zakat. Ada Baznas, Rizki, BMH, Nurul Hayat, Lazisnu, Lazismu, dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi masjid-masjid di sekitar rumah kita di seluruh Indonesia yang menghimpun dan menyalurkan zakat. Lebai itu orang. Masak zakat aja dikabar-kabarkan begitu. Nyusahin orang.”

“Untung, sebagian besar tidak sok ya, Cak.” Aku menyela.

“Kata siapa?!” Nada bunyi Cak Rat meninggi. Aku jadi tidak lezat sendiri.

“Kataku, Cak.”

“Semua orang Indonesia Sok, Jo! Kau dengar setiap malam, orang ramai-ramai npenghasilan di masjid, musala, langgar, dan rumah-rumah?” Cak Rat bertanya. Menatap tajam ke arahku.

“Iya, Cak. Dengar.”

“Kenapa kamu dapat mendengar mereka?”

“Karena mereka pake spiker,” Jawabku ragu.

“Nah, itu! Betul! Orang nderes Quran aja pake spiker. Pake pengeras. Maunya apa? Dapat pahala? Tuhan itu  maha mendengar. Bahkan bisikan hati yang tak bersuara pun Tuhan tahu. Kalau kita npenghasilan pakai pengeras apa kita, eh kalian, eh mereka itu tidak menghina Tuhan? Seoalah-olah bila kita tidak pakai pengeras dewa tidak tahu.”

“Terus gimana, Cak?” Aku mencoba mencari solusi.

Yo, Mbuh, Jo! Pikiren dewe.”

Jelas-jelas saya bertanya. Berarti saya tidak dapat berpikir. Malah disuruh mikir sendiri oleh Cak Rat. Maunya ini orang apa.

“Iya, ya. Tuhan  Maha Mendengar, Cak. Berarti kita tidak perlu npenghasilan pakai pengeras ya?” Tanyaku lagi.

“Ya gak gitu juga, Jo. Gini aja. Kita kembalikan ke pelajaran yang pernah kita dengar waktu kecil doloe di langgarnya kang Sori.” Aku dan Cak Rat memang mitra seperguruan. Guru kami ialah Kang Sori. Yang mengajarkan menpenghasilan dengan benar.

“Sejak doloe kita tahu, Jo. Tuhan itu maha mendengar. Mendengar itu beda dengan mendengarkan. Mendengar itu punya dimensi lain dengan mendengarkan. Jika spesialuntuk mendengar berarti sebatas tahu. Kalau mendengarkan itu menyimak dengan sungguh-sungguh dan perhatian. Nah, bila kamu npenghasilan dengan speaker atau tanpa speaker, Tuhan niscaya mendengar. Tapi Tuhan belum tentu mendengarkan orang yang npenghasilan dengan Speaker dengan tujuan pamer itu tadi. Paham, Jo?”

“Enggak, Cak.” Aku benar-benar bingung.

“Halah, mbuh wis, Jo. Pokoke ngunu. Kamu pernah npenghasilan di Speaker?”

“Ramadan ini, sama sekali belum, Cak.”

“Bagus, berarti engkau tidak sok. Kamu bila npenghasilan di rumah saja. Biar Tuhan saja yang mendengar. Tidak perlu orang sekampung.”

“Itu masalahnya, pake speaker saja saya gak pernah npenghasilan, Cak. Apalagi di rumah. Kalau engkau?” Aku mencoba menelisik.

“Podo. Aku juga gak pernah npenghasilan. Hahahaha. Ya Wis, Assalamualaikum!”

Belum sempat kutanya beliau hendak pergi ke mana, beliau sudah ngeloyor pergi. Dasar Cak Rat. Kalau kamu bertemu dengannya, tolong sampaikan salamku padanya.


Tidak tiruana orang menpenghasilan pakai speaker itu sok. Toh, hati orang siapa yang paham. Kita tidakboleh sok menjiplak Tuhan dengan sok mengetahui maksud hati orang lain.
close