Prof Ayu Sutarto Yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari


Prof Ayu Sutarto yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari

Mungkin goresan pena ini tak layak disebut Obituari, atau saya sendiri yang tak pantas untuk menulis obituari tokoh sebesar Profesor Ayu Sutarto yang meninggal dunia pada Selasa, (1 Maret 2016). Pertama kali saya mengetahui diberita simpulan hidup tersebut dari facebook. Akun Gress Publishing memosting foto Prof Ayu yang sedang membaca buku dengan catatan yang menarikdanunik: Yang lepas kembali # yang tinggal awet. Sebelum goresan pena itu akun tersebut mengucapkan selamat jalan.

Judul goresan pena ini sengaja ditulis (tak) alasannya yakni memang saya tidak mengenal Guru Besar ini secara personal. Seingat aku, saya spesialuntuk pernah bertatap muka eksklusif dengan dia spesialuntuk sekali, yaitu saat dia menaiki tangga gedung dekanat FKIP Universitas Jember. Sebagai mahasiswa yang (merasa) punya unggah-ungguh saya menyapa dengan tersenyum dan sedikit membungkukkan badan, dia menyerupai biasa yang sering saya lihat dari kejauhan membalas tersenyum. Senyum yang lepas tidak dibuat-buat.

 Mungkin goresan pena ini tak layak disebut Obituari Prof Ayu Sutarto yang (Tak) Kukenal | Sebuah Obituari
Selebihnya saya sering melihat dia dari foto di koran, di internet, facebook, dan lain sebagainya. Saya juga sering menyerap pemikiran-pemikiran Prof Ayu (begitu biasanya kawan-kawan menyebutnya) dari goresan pena dan ceramah ilmiahnya dalam beberapa forum. Salah satu yang saya ingat yakni saat dia menjadi narasumber di salah satu televisi regional Jawa Timur, dia membuktikan wacana keadaan budaya Tengger di kaki pegunungan Bromo, Jawa Timur. Hal itu (kebudayaan Tengger) memang menjadi serius penelitiannya.

Meskipun berserius pada Tengger, Prof Ayu juga mengamati budaya-budaya lain di daerah timur Jawa Timur. Pernah juga doloe saya menghadiri program yang di dalamnya juga ada Prof Ayu sebagai pembicara, program tersebut sekaligus menjadi program peluncuran bukunya yang wacana engkaus bahasa Osing, yang diserahkan eksklusif kepada budayawan Banyuwangi yang juga hadir di Gedung Soetardjo, Universitas Jember.

Prof Ayu memang banyak berkarya, menulis buku wacana budaya dan sastra. Salah satu buku yang ditulis olehnya yakni wacana Warung Kopi (sampai kini saya masih belum berhasil mendapat buku ini). Katanya, buku ini memuat penelitian dia wacana jenis-jenis warung kopi. Di antaranya yakni warung kopi yang menjual sensualitas dan seksualitas. Tetapi yang dapat besar dan bertahan yakni warung kopi komunitas. Begitu kesimpulan yang disampaikan dia dalam pemaparan wacana isi buku tersebut.

Selaku budayawan, Prof Ayu akrab dengan banyak sekali kalangan. Tidak spesialuntuk sesama budayawan tetapi juga dengan tokoh-tokoh NU di Jember. Beliau juga menulis buku Indonesia di Mata Seorang Kiai NU. Buah goresan pena yang didasarkan pada pemikiran-pemikran Kiai Muchit Muzadi tokoh besar PBNU yang bermukim di Jember. Mungkin dia berdua (Mbah Muchit dan Prof Ayu) kini lagi berdiskusi lagi wacana Indonesia. 

Tidak spesialuntuk akrab dengan tokoh-tokoh besar. Prof Ayu juga akrab dengan siapa saja, yang mau berkunjung ke rumahnya, begitu penuturan kawan-kawan saya yang melaksanakan penelitian skripsi wacana budaya. Mulai dari mas Badrus Sholihin alias Midun Aliassyah hingga ke Yuristika yang mereview Tradisi Lisan Madura. Mereka berdua mengumpulkan materi hingga berdiskusi dengan Prof Ayu di Kediaman yang sekaligus dijadikan perpustakaan di Jalan Sumatera, Jember. Padahal kedua anak tersebut yakni mahasiswa FKIP Bahasa Indonesia, tidak pernah diajar Prof Ayu yang menjadi dosen di Fakultas Sastra Unej. Tak sedikit pula bawah umur lain yang berkunjung kesana, katanya sih begitu.

Satu lagi ajaran dia yang masih saya ingat, waktu itu saya baca goresan pena dia di koran Radar Jember. Beliau mempunyai kekhawatiran akan eksistensi bahasa daerah. Salah satunya yakni anak-anaknya sendiri yang mulai meninggalkan bahasa daerah dan lebih menentukan memakai bahasa Indonesia bahkan hingga dalam pergaulan sehari-hari. Yang menciptakannya lebih khawatir, bahkan kini bahasa Indonesia yang banyak diketahui bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa ragam gaul yang tak terang ujungnya.

Selamat jalan Prof, biar tidak ada yang berduka cita. Karena simpulan hidup bersama-sama yakni pertama. Semoga kelak dapat berjumpa lagi dan dapat kembali menikmati paparan Prof Ayu wacana banyak hal yang sederhana tapi menarikdanunik.

Lahu Alfatihah.
close