3 Jam Berjalan Menyusuri Royalan | Sebuah Tradisi Budaya Di Semboro Jember

Royalan di PG Semboro 
Royalan yakni sebuah tradisi yang muncul dalam bumi Pandalungan Jember. Sebuah tradisi budaya yang lahir, tumbuh, bertahan, dan berkembang sesuai dengan realitas zaman. Di Kecamatan Semboro, yang ada di potongan barat Kabupaten Jember.

Royalan yakni sebuah program yang sudah ada semenjak zaman pendudukan Belanda. Setidaknya itulah isu yang saya sanggup dari beberapa situs yang mengulas Royalan di laman internet. Royalan pertamanya ialah semacam pesta dan selamatan menyambut proses pguan dan penggilingan tebu. Awalnya ialah program yang sakral meliputi muatan budaya dan pesta bagi pembesar Belanda. Muatan tradisi dan budaya yang ada dalam program Royalan yakni adanya ruwatan. Seiring perkembangan zaman, Royalan juga diisi dengan program istighasah dan doa bersama meminta keselamatan selama proses giling tebu.


Perkembangan termutakhir, Royalan juga diisi hiburan tradisi dan hiburan masa kini. Ada pagelaran wayang hingga orkes dangdut. Tetapi saya masih belum sanggup menyaksikan langsung. Meskipun sebagian orang menyampaikan ada pergeseran dan menghilangnya kesakralan dalam program Royalan, tetapi masih ada yang bertahan semenjak doloe, yaitu: Pasar Rakyat.

Royalan kini lebih bermakna taman hiburan rakyat yang menyediakan stan untuk produk dari masyarakat baik berupa barang maupun jasa. Selain itu ada pula wahana hiburan berupa komidi putar alias kincir angin alias dermolen, (istri saya menyebutnya: tas-tasan) sebab bentuk keranjang yang dinaiki seolah-olah tas jinjing.

Menurut istri aku, istilah Royalan bergotong-royong sama saja dengan istilah pasar rakyat atau THR (taman hiburan rakyat). Tetapi spesialuntuk Semboro yang punya Royalan. Royalan kemungkin berasal dari kata royal bahasa Jawa. Royal dalam bahasa Jawa semakna searti dengan habis-habisan. Habis-habisan untuk mempersembahkan sesuatu juga habis-habisan untuk membelanjakan sesuatu.

Mengapa habis-habisan? Karena tiruana ada di situ. Seperti pada Kamis (5 Mei 2016) saya mengantarkan istri, adik ipar, dan ibu mertua jalan-jalan di Royalan. Sepeda terlebih doloe diparkir di bantaran antara dua sungai irigasi. Perlu diketahui bahwa, Pabrik Gula (PG) Semboro dikelilingi oleh sungai irigasi, di potongan kiri ada sungai yang besar, sempurna di sudut timur selatan PG Semboro ialah simpang lima yang juga ialah dam persimpangan saluran irigasi. Ada sungai yang cukup besar melintang dari arah timur ke barat. Berjajar dengan jalan di potongan depan PG Semboro. Sepanjang jalan yang melintang itulah stan produk masyarakat dipamerkan.

Waktu itu kami berjalan kaki, menyusuri stan demi stan yang ada di kanan-kiri jalan. Puluhan, mungkin ratusan lapak yang menunjukkan produknya. Berbagai macam produk dan jasa. Mulai dari penjual cilok hingga dealer motor dan CV yang menyediakan jasa konstruksi membuka stan. Ramai, meriah dan cukup macet. Padahal waktu itu yakni malam Jumat Legi. Pengunjungnya cukup banyak.

Ketika gres hadir, kami spesialuntuk melihat-lihat dengan lirikan-lirikan tanpa mengamati dengan mendalam masing-masing produk yang dijual. Tujuan utama kami (lebih tepatnya tujuan istri dan adik) yakni wahana Komidi Putar di ujung barat. Bayangkan lebih dari satu kilometer kami berjalan kaki dari ujung timur stan Royalan sebab wahana komidi putar ada di ujung barat. Tentu itu siksaan yang cukup berat untuk orang setambun aku.

Penat kaki tidak begitu terasa saat hingga di ujung barat Royalan, sebab gres hadir. Sambil menunggu istri, adik, dan mertua naik tas-tasan aku melihat-lihat wahana lain yang ada di situ. Selain ada tas-tasan juga ada helikopter-helikopteran dan kuda-kudaan serta boneka yang diputar secara manual oleh petugasnya. Ketiga wahana itu cukup sepi dibanding wahana tas-tasan yang diputar memakai mesin diesel. Mungkin sebab yang mau naik wahana itu tidak tega melihat petugas yang bercucuran keringat menjaga wahana tetap berputar.

Wahana lain yang dikhususkan untuk bawah umur yakni rumah balon, mandi bola, dan bahtera karet. Ketiganya banyak yang menikmati, tiruananya anak-anak. Bahkan di wahana bahtera karet mini yang sanggup dinaiki oleh satu anak, bahtera karet sama sekali tidak sanggup bergerak. Tidak ada ruang sama sekali untuk menggerakkan bahtera karet meskipun ada dua buah dayung di masing-masing perahu. Kasihan juga melihat bawah umur kecil mendayung sekuat tenaga tetapi perahunya tidak bergerak.

Ada pula wahana kereta naga yang begerak memutar di atas rel yang membentuk lingkaran. Waktu itu spesialuntuk ada dua anak yang menaiki. Ada pula wahana yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh pengunjung yaitu ATV mini. Seorang petugas memperbaiki mesin motor kecil seukuran sepeda roda tiga.  Semua wahana tersebut ada di selatan sungai yang ada di selatan PG Semboro.

Waktu itu tanah daerah wahana tersebut becek sebab sore harinya Semboro dan sekitarnya diguyur hujan yang cukup deras. Namun itu tidak menyurutkan minat pengunjung untuk memadati wahana tersebut. Oleh sebab itu banyak pengunjung yang ganjal kakinya belepotan lumpur. Akhirnya, istri turun dari tas-tasan sehabis foto-foto sedikit, kami bergerak menyebarangi jembatan di atas sungai yang airnya surut tidak mengalir. Bergerak ke arah timur. Jika berangkatnya tadi berjalan dengan cepat, kali ini kami berjalan lebih santai.

Tiba di bebarapa lapak yang menyediakan barang menarikdanunik, kami berhenti. Melihat-lihat. Sekadar melihat atau memang tertarik untuk membeli. Barang-barang yang dijual di situ antara lain mainan berupa boneka maupun aksesoris. Tanaman hias, tanaman buah, bahkan ada stan yang menyediakan bibit buah jeruk yang sudah berbuah. Ada pula yang menjual kaligrafi, produk mebel, makanan enteng, buku, dan benda-benda kebutuhan dapur dengan bentuk yang menarikdanunik. Ada kendi tanah liat, ada penggaruk punggung. Ada pula yang menjual guaka jenis pakaian.

Sesudah membeli eskrim, istri dan mertua bertahan di stan yang menyediakan pakaian. Sementara saya berada agak jauh. Lebih tertarik mengamati penjual keping VCD. Sepertinya bajakan. Seketika terlintas dalam pikiran aku, kok masih ada yang menjual dan membeli keping VCD bajakan, bukankah pembajakan jauh lebih simpel dengan flashdisk (hehehehe).

Sesudah itu, kami bertiga (karena adik jalan doloe jauh di depan bersama kawan-kawannya) berhenti di stan yang menjual buku. Sama nasibnya dengan keping VCD, buku yang dijual juga ialah replika dari karya aslinya. Buku yang sempat menarikdanunik perhatian saya yakni beberapa judul novel Andrea Hirata dari tetralogi Laskar Pelangi, ada pula novel Ayah yang urung saya beli sebab kualitas sampulnya yang buruk. Barcode-nya buram. Ada pula novel Layar Terkembang Novel klasik Indonesia karya Sutan Takdir Alisjahbana. Yang membuat saya enggan membeli novel ini meskipun tertarik sebab catatan kaki dalam sampul depan novel tersebut tertulis Novek ini.... . Pakai k bukan l.

Satu hal lagi yang sangat menarikdanunik perhatian saya yakni adanya penjual binatang kecomang (keong laut) warna-warni lengkap dengan rumah-rumahannya. Dijual terpisah.  Cangkang kecomang-kecomang itu diwarna dan digambari dengan sangat cantik. Ada-ada saja cara kreatif mendulang rejeki, pikirku dalam hati.

Menjelang ujung timur stan  yang berarti sudah hampir hingga di daerah kami memarkir sepeda, saya bertemu dengan salah satu siswa SMAN 1 Tanggul. Rifal Afif Gozayel biasa dipanggil Jayel yakni siswa saat saya praktik mengajar di sekolah itu. Untungnya ia masih ingat saat kusapa. Sesudah bercengkrama sebentar ia melanjutkan perjalanan menyusul kawan-kawannya. Sementara saya masih menunggu istri dan mertua yang masih menentukan barang yang ingin dibeli.


Akhirnya kami pulang dengan beberapa barang kecil yang ditenteng istri serta kenangan besar ikut menjadi potongan dari budaya yang lahir di bumi Pandalungan Jember. Sesudah mengambil motor di daerah penitipan parkir dengan jasa 3000 rupiah permotor kami pulang ke rumah istri di Gununglincing - Gungungsari - Kecamatan Umbulsari. Sebuah kecamatan di selatan Semboro.
close